Para Imam atau Ulama selisih pendapat menyangkut
dengan pemberian nama-nama[1] Allah
serta tentang pensifatanNya:
1. Menurut jumhur Ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah, bahwa nama-nama Allah serta pensifatanNya adalah tauqifiyah
yaitu pemakaiannya tergantung kepada datang nahs. Apabila ada ayat
atau warid hadits yang kandungannya, menyebutkan Allah dengan satu nama atau
mensifatkanNya dengan satu sifat, baru boleh nama itu di sebut dengan nama
Allah atau diiktiqadkan sebagai sifat Allah. Seperti:
إن الله حي كريم يستحي من عبده
اذا رفع الرجل إليه يديه يردهما صفرا خائبتين
Sesungguhnya Allah yang maha hidup dan maha da sangat
pemurah, Ia malu malu terhadap hambaNya yang berdoa mengangkat kedua tangannya,
lalu mengembalikan kedua tangan itu dalam keadaan kosong (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadits ini Nabi menyebut untuk zat Tuhannya
dengan kaliamat Allah dan dengan kalimat Karim dan mensifatkan
Tuhannya dengan Hayyun. Maka karena ketiga kata itu ada dalam hadits
sehingga bolehlah dipakaikan ketiga-tiga itu untuk Allah yaitu kata Allah
dan kata Karim sebagai nama sedangkan kata Hayyun sebaga sifat. Dan
sebaliknya, yaitu apa bila kata-kata itu tidak terdapat di dalam ayat-ayat
quran maupun di dalam hadist dan tidak di sifatkannya dengan satu sifat, maka
kata itu dan sifat itu tidak boleh digunakan untuk Allah.
2. Kaum Mu’tazilah berpendapat
sebaliknya, yaitu pemakayan nama untuk Allah dan pensifatannya tidak tergatung
kepada datang ayat maupun hadits. Dasar pendapat ini boleh menyebutkan Allah
dengan nama atau sifat apa saja asalkan tidak terbayang kepada kekurangan zat
Allah yang maha tinggi. Kepada pendapat ini mendapat persetujuan dari
sebahagian Ulama Ahlussunah Wal Jamah seperti Al Qaddhi Abu bakri Al Baqilaniy.
3. Untuk masalah ini Imam Gazali
merincikan yaitu boleh mensifatkan untuk Allah dengan sifat apa saja asalkan
cocok dengan ketuhannya sekalipun tidak di temukan Nash, tetapi kalau untuk
nama tidak boleh jika tidak ada dalam nash. Sementara Imam Haramain untuk
masalah ini tidak ada komentar apa-apa, tidak menfonis kepada boleh dan tidak
fonis kepada tidak boleh.
Kesimpulannya adalah para Ulama sepakat kepada
boleh pemberian nama-nama Allah serta tentang pensifatanNya ketika ditemukan nash
dan sepakat juga kepada tidak boleh, ketika ditemukan nash larangan,
sedangkan jika tidak ada nash mereka selisih pendapat, ada yang
berpendat boleh dan ada yang tidak boleh serta ada yang tidak berkomentar
apa-apa (tawaqquf)[2]. Yang
kuat di antara pendapat- pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama, oleh
karena demikian hafalkanlah nama-nama dan sifat-sifat yang telah sebut dengan
nash, karena pada mengahafalnya diberikan pahala yang banyak dan dapat
berpengaruh kepada kesuksesan pekerjaan kita.
No comments:
Post a Comment